Saturday, February 28, 2009

Menyibak Hubungan Niskala Majapahit-Bali dari Pratima Ganesha-Kala



Menyibak Hubungan Niskala Majapahit-Bali dari Pratima Ganesha-Kala

Rangkaian meja upacara letter hurup L tertata di balai areal Candi Ibu Majapahit, Jimbaran. Sebuah meja lengkap dengan banten upakara berdiri di depannya. Di atas meja itulah diletakkan pratima Ganesha dua muka (gajah dan kala). Diyakini pratima itu simbolis ritual caru rsi gana di Majapahit-Bali. JIMBARAN - Siang itu langit begitu bersih. Areal Candi Ibu Majapahit di Puri Gading, Jimbaran tampak lengang. Hanya tampak Hyang Suryo (Sri Brahmaraja Wilatikta XI), Mangku Noko Prawira, Komang Edy (Mbiyokong Klenteng Sinar Emas/ Cin Kwang Si), serta tiga orang pemedak di areal candi yang menyatu dengan Klenteng Cin Kwang Si tersebut.Karpet empuk warna hijau ukuran 4x5 meter terhampar di balai. Persisnya jadi alas meja persembahyangan tempat Pratima Ganesha-Kala di-stanakan tersebut. ''Pratima Ganesha-Kala ini kami ambil dari Trowulan, Mojokerto, Jatim,'' kisah Hyang Suryo, mengawali wawancara dengan koran ini, tiga hari lalu. Sesekali Hyang Suryo menghalau seekor anjing putih yang coba mendekat ke karpet. Bagaimana bisa dibawa ke Bali? Ini bermula permintaan World Hindu Youth Organisation (WHYO) terkait 2nd Ganesha Caturthi Festival 2008 yang dilakukan pada 6-7 September lalu di Pura Jagatnatha dan Pantai Matahari Terbit, Sanur, Denpasar. Yakni, dirangkaikan dengan ritual Caru Rsi Gana Jagat Raya (Redite Pon Wuku Medangsia Sasih Katiga Tahun Saka 1930).Berangkat dari keyakinan mereka, kegiatan ini bertujuan, menguatkan kembali pemahanan nilai spiritual Dewa Ganesha. Terkait tugas beliau sebagai Dewa Kebijaksanaan, Penolak Bala, dan Penglukatan. Makanya, dari ritual tersebut dimaksudkan sebagai upaya pembersihan dunia lewat permohonan kekuatan penglukatan Dewa Ganesha. Di luar agenda WHYO tersebut, Hyang Suryo sendiri ngaku sebelumnya menerima pawisik. Yakni, soal hubungan ritual caru rsi gana dengan keberadaan pratima Ganesha-Kala tersebut. ''Bermula saya melihat orang Bali saat melakukan upacara caru rsi gana melakukan gerakan pembersihan juga membawa bendera bergambar Ganesha,'' beber Hyang Suryo.Dari situlah dia berpikir (selain juga menerima pawisik), ternyata pratima peninggalan kakek-neneknya: Mbah Gede Ngadri-Mbah Putri Gading Ludoyo (Gebang Lor, Blitar). Dia mengotak-atik pawisiknya dengan teori sederhana saja. Soal pratima Ganesha yang dicocokkan dengan bendera Ganesha di Bali. Lantas kepala kala yang disimbolkan (di Jawa) sebagai sarana untuk upacara ruwatan. Dan, ujung-ujungnya ada kemiripan. ''Dalam hati, saya bertanya-tanya kok orang Bali upacara ngruwat (ruwatan/odalan/ pembersihan, Red) pakai nggawe (memakai, Red) Ganesha,'' urainya, mengungkapkan rasa penasaran sebelumnya. Dengan bahasa sederhana pula, Hyang Suryo mengurai kalimat caru rsi gana. Di mana, caru dimaknai sebagai kegiatan ruwatan yang di Jawa dikatakan identik dengan kala. Sedang rsi gana dimaknai dengan simbolis Ganesha tersebut.Rupanya, tanda tanya tersebut akhirnya terjawab di ada rangkaian ritual (WHYO) di Pura Jagatnatha, Denpasar, pada 6-7 September lalu. Saat itu saya bertanya kepada Ida Pedanda Made Gunung soal pecaruan rsi gana yang dikaitkan dengan keberdaan pratima Ganesha-Kala tersebut. ''Dan Ida Peranda Sebali Tinyar menjawab benar. Maka, terbukalah rahasia ritual dari pratima peninggalan Majapahit dengan persembahyangan orang Hindu Bali tersebut,'' bebernya senang sambil ngaku setelah sekitar ratusan tahun rahasia itu terungkap. (djoko heru setiyawan) Dari Trowulan via Darat SELAMA ini pratima Ganesha-Kala tersimpan di Puri Surya Majapahit Pusat di Trowulan, Jatim. Sebelum pada Jumat (5/9) lalu masuk Bali via darat.Tapi, sebelum dibawa ke Bali, selama di Jatim mulai 2 September lalu dikirab ke Candi Simping di Desa Jimbe, Blitar. Juga ke candi-candi lainnya.Lantas masuk Bali via Gilimanuk, Jembrana. Selama perjalanan Gilimanuk ke Candi Ibu Majapahit, Puri Gadung, Jimbaran, terlebih dahulu dibawa mampir ke beberapa pura dalam perjalanan. Salah satunya ke Pura Rambut Siwi, Jembrana.Lantas pada Sabtu (6/9) dibawa keliling Denpasar sebelum nyejer di Pura Jagatnatha, sehari semalam. Terkait rangkaian ritual kirab Pratima Ganesha dengan rute Pura Jagatnatha-Pantai Matahari Terbit, Sanur, dilakukan pakemitan di Jagatnatha pada Sabtu malam.Saat itulah, pratima ini disambut tarian barongsai dari Kongco Dwipayana, Tanah Kilap, Denpasar. Selama pratima di Jagatnatha, banyak umat hadir. Ada yang berdoa, minta berkah, hingga kerauhan. ''Ada yang istimewa, malam itu saat pratima Ganesha-Kala di Jagatnatha hampir semua wilayah Denpasar diguyur hujan, tapi di Pura Jagatnatha tak turun hujan,'' papar Mangku Noko Prawira.Begitu juga ketika dilakukan kirab ke Pantai Matahari Terbit. Pratima itu dibawa Hyang Suryo yang naik dokar, selama perjalanan, kuda penarik dokar meringkik (ala kuda jingkrak) terus menerus. ''Ini kami duga kuda tersebut terpengaruh kuatnya tuah pratima Ganesha-Kala,'' sambungnya. (djo)BERJODOH DENGAN KERIS GANESHA DAN TOMBAK KALA KEANEHAN lain yang diakui Hyang Suryo semenjak pratima Ganesha-Kala di Bali. Ternyata, ketemu jodohnya, bisa disebut pengawal. Karena ternyata, dari koleksi ratusan keris Hyang Suryo di areal Candi Ibu Majapahit, ada sebilah keris Ganesha dan tombak bermotif kala. ''Ini memang jodoh. Dari ratusan keris yang saya miliki, semuanya berpasangan. Kecuali keris Ganesha ini. Tak tahunya berjodoh dengan pratima Ganesha-Kala. Begitu juga tombak kalanya,'' ungkap Hyang Suryo yang lantas menjajarkan kedua senjata itu di kanan dan kiri pratima.Kejadian lain yang dinilai berbau niskala adalah saat dilakukan ritual di Pantai Matahari terbit, Sanur, terkait kirab pusaka WHOY tersebut.Saat itu, wakil umat India (rombongan Agni Hotra) hendak melalukan ritual pakelem di laut Sanur. Mereka membawa enam buah arca Ganesha. Saat yang sama, umat juga diberi kesempatan berdoa di sekitar pratima Ganesha-Kala yang nyejer di pantai tersebut.Tiba-tiba, di tengah pakelem, ada pemedak (dipanggil Ibu Eka) kerauhan. ''Lebih baik saya saja yang ditenggelamkan ke laut. Arca Ganesha ini jangan,'' kata Eka seperti ditirukan Hyang Suryo.Diuraikan, saat bicara demikian, Eka memegang erat salah satu arca Ganesha yang hendak dilarung ke laut. Dan, akhirnya satu arca ini tak jadi dilarung. Sehingga, yang dilarung hanya lima arca saja. ''Kini arca Ganesha yang tak jadi dilarung itu kami tempatkan di gerbang Candi Ibu Majapahit ini,'' beber Hyang Suryo sambil mendongak menunjukkan arca dimaksud di depan balai tempat wawancara.

sumber: Radar Bali
[ Sabtu, 20 September 2008 ]

Upaya ''Mengakrabkan'' Generasi Muda dengan Warisan Budaya


Selama dua minggu, dari 20 Juli hingga 2 Agustus 2003, berlangsung pameran benda-benda pusaka di Gedung Ksirarnawa Art Center, Taman Budaya Bali. Benda-benda pusaka yang diperlihatkan kepada publik itu berasal dari beberapa periode -- zaman Majapahit, Singosari, Pajajaran, Kasunanan, Kasultanan dan Kadipaten. Selain benda pusaka berupa tosan aji -- keris, tombak, cundrik -- dan lain-lain juga dipamerkan benda-benda keramat seperti pratima Pura Majapahit, pratima Raja Brawijaya di Candi Simping dan batu pusaka Pura Dalem Solo Bali. Pertanyaannya, apa sesungguhnya tujuan dipamerkan benda-benda itu? Kenapa yang keramat juga diperlihatkan kepada publik?
-------------------------------------
Pameran yang dibuka Kadis Pendidikan Propinsi Bali Gusti Ngurah Oka, S.E. itu memiliki makna tersendiri. Selain, berupaya untuk ''mengakrabkan'' generasi muda kepada benda-benda pusaka, pameran itu sesungguhnya memberi gambaran kepada masyarakat bahwa sejak lama para nenek moyang bangsa Indonesia memiliki keahlian menciptakan senjata. Tidak hanya tajam secara fisik, juga diyakini memiliki yoni -- kekuatan gaib.
Ketua Panitia Pameran Dr. RM Heng Roos Gianto, M.Si. mengatakan, selama ini ada kesan bahwa generasi muda ''takut'' terhadap benda-benda pusaka. Demikian juga benda-benda yang dikeramatkan. Bahkan, keberadaan benda-benda keramat seolah-olah ditutup-tutupi.
Karena itu, selain senjata pusaka, dalam pameran kali ini sejumlah benda pusaka pada masa Kerajaan Majapahit ikut diperlihatkan kepada masyarakat, khususnya Bali. ''Kita berharap agar generasi muda akrab dengan budaya warisan nenek moyang bangsa ini, dan tidak silau pada budaya asing,'' katanya.
Benda-benda pusaka Pura Majapahit yang dipamerkan di antaranya satu paket leluhur Singalayapara. Benda yang dikeramatkan itu terbuat dari perunggu, kuningan dan emas berupa arca leluhur putri Majapahit yang dimanifestasikan Ratu Mas Magelung atau Dewi Kwan Im.
Di samping itu, ada bedug Singa Ludaya, arca Dewi Suhita atau Ratu Galuh Kencana -- putri Majapahit -- topeng Gajahmada, lukisan keramik dan lain-lain. Pada zaman Majapahit, tiap ujung kiri tempat pemujaan leluhur diberi tambur atau bedug. Hal itu masih dilakukan sampai kini, kendati tidak ditabuh.
Panditoratu Pura Majapahit Hyang Suryo Wilatikno mengatakan, benda-benda pusaka itu memang dikeramatkan di Pura Majapahit.
Kenapa benda-benda tersebut diperlihatkan kepada masyarakat umum, Hyang Suryo memiliki alasan yang mendasar. Selama ini, katanya, Pura Majapahit ditutup atau disegel oleh pihak berwajib. Kegiatan ritual dan aktivitas lainnya dilarang. Bahkan, ada isu ingin dibom oleh pihak tertentu. Karena ditutup, tentu umat tidak sempat tangkil ke pura tersebut --yang mana di sana terdapat sejumlah benda pusaka pada masa Kerajaan Majapahit.
''Itu makanya kami memamerkan benda-benda tersebut, dengan harapan masyarakat tahu bahwa inilah benda pusaka yang distanakan di Pura Majapahit Trowulan,'' ujarnya didampingi Yanto (Islam) dan Ajun (Buddha) -- dua orang yang berbeda agama, tetapi memiliki garis luluhur yang sama, Majapahit.
Sebelumnya, kata Hyang Suryo, benda-benda pusaka itu berada terpencar di sejumlah tempat. Bahkan, ada yang disimpan oleh beberapa keluarga. Setelah Pura Majapahit berdiri tahun 1997, benda-benda itu disimpan di pererepan Pura tersebut.
Hyang Suryo yang mengaku keturunan ke-11 Kerajaan Majapahit hasil perkawinan Brahma Raja Wilatikno dengan putri Cina bernama Li Yu Lan itu mengatakan, benda-benda pusaka tersebut ''dipelihara'' oleh mereka yang memiliki garis keturunan Majapahit. ''Kendati mereka berbeda agama, sampai saat ini tetap pada tradisi nenek moyangnya,'' kata peraih bintang dharma dan bakti budaya tersebut.