Sunday, March 15, 2009

PENYELAMATAN DAN KEMBALINYA MAHKOTA MAJAPAHIT


sumber: Bali Post» Budaya
Minggu, 15 Maret 2009
Seputar Kontroversi
Penyelamatan dan Kembalinya Mahkota Majapahit

Oleh Gede Mugi Raharja
DENGAN tetap memegang konsep negara kepulauan Nusantara bersatu, mau tidak mau, aura kejayaan Kerajaan Majapahit akan tetap mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Sebab, bentuk pemerintahan Kerajaan Majapahit telah menjadi inspirasi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.Puncak kemegahan Kerajaan Majapahit tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) saat didampingi Mahapatih Gajah Mada, terutama pada saat perwujudan Sumpah Palapa untuk mempersatukan Nusantara.Setelah Gajah Mada wafat pada 1364, Majapahit mulai suram. Pada 25 tahun kemudian, Raja Hayam Wuruk mangkat (1389). Kerajaan Majapahit mulai retak. Pertikaian antar-ahli waris tidak terhindarkan. Kehidupan mewah akibat kesejahteraan yang telah dihasilkan Majapahit, telah membuat orang-orang Majapahit lemah dan agak lengah.Di masa pemerintahan Raja Kerthabhumi, dengan mudah Majapahit yang telah berusia 148 tahun ditundukkan oleh penguasa Demak, Raden Patah yang kala itu berusia 23 tahun. Peristiwa ini disebutkan dalam tahun Saka sebagai "sirna ilang kertining bumi" yang bermakna 1400 atau 1478 Masehi. Raden Patah yang juga disebut Panembahan Jin Bun sebenarnya adalah putra Raja Kerthabhumi, setelah sang raja menikah lagi dengan putri saudagar Cina Muslim.Dalam kronik Tionghoa disebutkan bahwa alasan penyerangan Demak ke Majapahit adalah karena raja Majapahit "tidak seiman" dengan penguasa Demak. Karena itulah ada upaya untuk menyatukan kepercayaan dan keyakinan raja Majapahit. Sunan Kalijaga (Raden Said) kemudian menjumpai Kerthabhumi (Brawijaya) di Blambangan, ketika mantan raja Majapahit ini hendak meminta bantuan kepada raja Bali.Kerthabhumi akhirnya pindah agama tanpa meminta pertimbangan abdi setianya, Sabda Palon dan Naya Genggong.Akibatnya, Sabda Palon dan Naya Genggong tersinggung, merasa sudah tidak diperlukan lagi. Akhirnya meluncurlah kata-kata yang kemudian dikenal sebagai ramalan atau semacam "kutukan". Kata-kata ramalan yang terkenal dari Sabda Palon dan Naya Genggong adalah akan mengembalikan keyakinan Hindu-Buddha 500 tahun setelah sang raja beralih keyakinan. Jika tidak mau, maka akan diambil jalan kekerasan, dengan tanda-tanda bencana alam.Milik KolektorEntah karena sudah sesuai dengan kehendak Sabdo Palon dan Naya Genggong, setelah 500 tahun lenyap dari bumi Nusantara, rupanya sudah ada upaya-upaya untuk merekonstruksi peninggalan Kerajaan Majapahit. Salah satunya adalah mencari lokasi Kerajaan Majapahit dan membuat Pusat Informasi Majapahit, setelah bukti-bukti sejarah dan peninggalan Majapahit dikumpulkan.Ide ini ternyata kemudian menjadi sebuah kontroversi di pengujung 2008. Sebab, situs Kerajaan Majaphit rencananya akan diberi tutup kaca tebal untuk memudahkan pengunjung bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan Majapahit di dalam kotak kaca (semacam etalase) di area Pusat Informasi Majapahit. Tentu saja para ahli arkeologi, sejarah dan budaya tidak bisa menerima ide ini. Sebab, penggalian dan pembangunan etalase kaca di dalam tanah justru bisa merusak situs Majapahit itu sendiri.Akhirnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik memerintahkan untuk menghentikan kegiatan tersebut, serta membentuk Tim Evaluasi Pusat Informasi Majapahit. Lantas, menjelang perhelatan pemilu legislatif dan pemilihan presiden, awal 2009 ini sebuah media cetak terbitan Surabaya memuat artikel tentang mahkota Kerajaan Majapahit. Apakah mahkota ini nantinya akan dapat memberi aura kepemimpinan Majapahit bagi presiden terpilih?Sejak Majapahit ditundukkan oleh Kerajaan Demak, banyak benda-benda pusaka dan tanda-tanda kebesaran Majapahit diangkut ke Demak. Namun setelah Kerajaan Demak runtuh, benda-benda pusaka dan tanda-tanda kebesaran Majapahit itu tercerai-berai serta sebagian tak diketahui keberadaannya. Tetapi kini, salah satu benda pusaka Majapahit yang menjadi simbol kepemimpinan Majapahit, diberitakan telah berada di Bali sejak 30 Mei 2008.Mahkota tersebut sempat menjadi milik seorang kolektor di Singapura. Namun karyawan di tempat menyimpan mahkota tersebut silih berganti kesurupan, meminta mengembalikan mahkota itu kepada keturunan Majapahit. Berita ini kemudian didengar oleh Way Ching Lee, seorang keturunan Raja Tumasik (Singapura). Dia kemudian berusaha mengumpulkan dana untuk menebus mahkota tersebut agar dapat dikembalikan kepada yang berhak. Setelah dana terkumpul dari beberapa dermawan di beberapa negara, mahkota Majapahit bisa ditebus.Mahkota ini kemudian dibawa ke Bali karena Bali diyakini sebagai penerus budaya Majapahit.Meski sempat dibawa ke Puri Ubud, mahkota ini akhirnya dibawa ke lokasi Puri Surya Majapahit, yang baru dibangun di Perum Puri Gading, Banjar Bhuwana Gubuk, Jimbaran. Puri ini dibangun oleh Hyang Suryo yang telah dinobatkan (abhiseka) sebagai Sri Wilatikta Brahmaraja XI. Di tempat ini pula telah dibangun tempat suci pemujaan leluhur raja Majapahit dan pemujaan Siwa-Buddha, yang dipuja pada masa Kerajaan Majapahit.KekuatanGaibDisebutkan bahwa mahkota ini pernah diteliti. Menurut penelitian para ahli, mahkota yang terbuat dari emas dan bertahtahkan permata tersebut telah berumur ratusan tahun. Bentuk tatahan dan bahannya disebutkan khas Majapahit. Tetapi tiga permata mahkota ini telah dicongkel dan dijual oleh kolektor yang sempat memiliki mahkota ini. Disebutkan pula, permata jenis rubi ada di Amerika, yang jenis safir ada di Inggris dan permata jambrud ada di Hongkong.Meski desainnya terlihat sederhana, tetapi mahkota Majapahit ini diyakini memiliki kekuatan gaib yang tidak sembarang orang bisa mengenakannya. Ide untuk mengujinya adalah dengan cara mencoba di beberapa kepala bangsawan dan rohaniawan. Ternyata mahkota ini ukurannya bisa membesar dan mengecil ketika dikenakan pada orang yang tidak dikehendaki. Akhirnya, disaksikan utusan donatur yang menebus mahkota, mahkota itu ternyata pas dikenakan oleh Hyang Suryo yang telah ber-abhiseka Sri Wilatikta Brahmaraja XI.Bersamaan dengan itu, disebutkan terjadi tanda-tanda alam. Langit yang semula cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap dan hujan disertai kilat, kemudian angin bergemuruh. Selain itu, terlihat pula cahaya keemasan dari langit mengarah ke Puri Surya Majapahit, Jimbaran.Di zaman Majapahit, mahkota raja disebut makuto hamangkoro. Orang yang berhak mengenakan mahkota ini adalah orang yang benar-benar sosok pilihan. Yang dipilih adalah orang yang memiliki "kemampuan" di alam nyata dan alam supranatural, sehingga bisa sukses memimpin Kerajaan Majapahit.Akankah aura kepemimpinan Majapahit dapat memberi "transfer energi" bagi pemimpin bangsa, yang merupakan sosok pilihan untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan Nusantara? Paling tidak, semoga keberadaan mahkota ini dapat memberi ketentraman dan keselamatan bagi penduduk Pulau Bali.

Monday, March 2, 2009

KONSEP SIWA BUDHA


Konsep Ciwa – Budha yang diterapkan oleh Mpu Tantular pada Abad ke- 13 pada tahun 1293, 715 tahun yang lalu yang dipakai dasar Negara Majapahit, dengan bunyi lontar Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”yang diteruskan oleh Sukarno Presiden Republik Indonesia I, pada 1 Juni 1945 yang dipakai dasar Negara RI yaitu Pancasila.
Konsep ini sudah diterapkan dulu di Nusantara ini pada waktu kerajaan Majapahit. Sekarang ini tanpa sadar masyarakat Bali yang sekarang di klaim Hindu masih menerapkan konsep Ciwa-Budha. Ini terbukti dengan adanya Upaca Yadnya dan menjunjung pemujaan terhadap Leluhur/Kawitan dan konsep Tri Hita Karana.

Kenapa ada Ciwa dan Budha karena kalau kita telaah darisegi Leluhur/Kawitan, Leluhur Purusa atau dari laki-laki memang dari dulu sudah penganut Ciwa yang sudah dilaksanakan dari jaman Medang Kemulan. Sedangkan dari Leluhur Predana atau dari Ibu adalah beragama Budha. Selanjutnya gererasi penerusnya memakai ajaran dari Purusa dan Predana yaitu Ciwa-Budha.

Pura Ibu Majapahit di Puri Gading Jimbaran

Dari segi Filosofi Ciwa adalah Tuhan itu sendiri sedangkan Budha itu adalah Budi Pekerti dimana kita dalam penerapan spiritual kita harus mempunt\yai Budi pekerti maka dalam menjalankan kehidupan kita harus selalu memakai Budi pekerti luhur.

Pada jaman Majapahit konsep Ciwa Budha ini dipakai dalam sisitem ketatanegaraan konsep ini terbukti

bisa menyatukan Nusantara dengan hasil kemakmuran Gemah Lipah loh jinawi

Pada waktu datangnya penyebaran agama Islam konsep ini mulai tidak

digunakan lagi masyarakat dijawa, dan mulai runtuhnya kerajaan Majapahit.yang diserang dan dikhianati oleh Jimbun Demak

Dan dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Dan Bali hanya dijajah

selama 61 tahun oleh para Penjajah.

Oleh para Rsi konsep Ciwa-Budha dibawa ke Bali dan diterapkan sampai sekarang.

Penerapan itu bisa kita lihat pelaksanaanya dengan pemujaan terhadap Leluhur, mencintai tanah air serta memberi sesuatu berupa upakara beantenan/sesajen kepada ibu pertiwi dan sampai sekarang adat istiadat dibali masih melaksanakan konsep tersebut. Sudah banyak contoh yang bisa kita lihat seperti bencana alam yang menimpa tanah Jawa dimana mereka lupa dengan adanya Leluhur. Dalam lingkup kecil kita bisa contohkan dengan adanya Bapak dan Ibu kita, . “barang siapa yang lupa dengan adanya orang tua/kawitan/leluhurnya maka orang tersebut tidak akan pernah mendapat kebahagiaan semasa hidupnya”.Ucap Sri Wilatikta Brahmaraja XI Raja Majapahit, yangt masih menerapkan konsep Ciwa-Budha secara penuh sampai sekarang.

Puri Surya Majapahit yang dipinpin oleh Brahmaraja XI dalam penerapannya telah tewujud dua buah Candi, dimana untuk pemujaan tehadap Purusa/Bapak berada di kawasan GWK Ungasan dan Purusha/Ibu berada di Puri Gading Jimbaran.

Dimana dalam pelaksanaan upakara dengan memekai bebantenan/sesajen Ciwa-Budha.

Selain itu penerapan konsep ini dengan pelestarian budaya dalam bentuk penyelamatan benda-benda peninggalan Leluhur dan lain-lain.(lakon/Edi)